Bukan siapa-siapa

Showing posts with label Diary. Show all posts
Showing posts with label Diary. Show all posts

AKU



Suatu saat mungkin kalian akan tau, bagaimana sulitnya menjadi aku.
sangat sulit untuk mengutarakan apa yang ada dihati.

Aku kesulitan menghadapi orang-orang, karena aku tidak bisa menjadi apa yang mereka harapkan dan inginkan dariku.

Aku juga merasa kesulitan, saat orang lain berkata padaku "tidak apa-apa, tetaplah menjadi diri sendiri." Namun saat aku menjadi diri sendiri, lagi-lagi aku harus terpaksa "ber-palsu" ria. Mereka tidak terima dengan diriku ketika aku menjadi diriku sendiri.
Saat aku bersikap palsu, mereka kembali mengatakan "tidak perlu menjadi orang lain, jadilah diri sendiri." 

Mau lu apa sih? Aelah!

Taukah kalian, saat aku menjadi palsu, aku sangat benci pada diriku sendiri. Aku mengutuki diri kenapa aku harus mengikuti kemauan orang-orang? Tapi, jika aku tak mengikuti kemauan mereka, tak ada orang yang mau menerima sikap "menjadi diriku sendiri" ini.

Aku benar-benar kesulitan!

Aku benar-benar tidak mampu mengimbangi langkah orang-orang, aku tidak mampu mengikuti langkah mereka, aku tidak mampu berjalan dibelakang mereka, namun aku juga tidak mampu berjalan didepan mereka.

Aku tidak bisa mengimbangi langkah, mengikuti langkah, berjalan ke depan, bahkan aku tidak bisa menjadi diriku sendiri. Karena diluar sana, sangat banyak orang yang hanya mampu mengomentari ketika aku menjadi diriku sendiri atau ketika aku bersikap palsu.

Ada banyak pertanyaan ketika aku berurusan dengan orang-orang. Aku juga dituntut untuk mampu menyenangkan orang lain, meskipun aku tidak nyaman!

Kenapa sih orang-orang marah dan ga terima kalau orang lain mengatakan yang sebenarnya?
Kenapa sih orang-orang lebih senang dibohongin daripada harus mendengar hal yang sebenarnya?
Terus, kalau tau itu bohong, kenapa sih orang-orang malah marah dan bilang "harusnya kamu mengatakan yang sebenarnya!".

Oh hello!
What the hell?
Kalian benar-benar rumit!

Aku tau, semua orang ga suka dengerin kabar buruk, terutama tentang dirinya. Tapi bagiku yang sok realistis, lebih baik mendengarkan hal buruk meskipun pahit daripada harus dibuai dengan manis dan sejuknya angin kebohongan.

Klise bukan?

Inilah yang membuat orang lain ga setuju dan sependapat denganku. Inilah yang menjadi asal muasal kenapa aku harus bersikap palsu.

Herannya, orang-orang ga suka kalau ada orang lain yang bersikap palsu padanya, padahal dia sendiri sebenarnya adalah sebuah kepalsuan. Ya, itu aku!

Kenapa harus serumit ini?
Mungkin ini lebay, namun suatu saat mungkin kalian akan tau, bagaimana sulitnya menjadi aku!

Seharusnya, Aku Tak Perlu Percaya!

Sudah berapa kali keadaan mengingatkanmu untuk tidak lagi percaya pada manusia, percaya pada janji-janji manusia, berharap pada janji-janji manusia?
Seharusnya aku sadar, aku tak lagi berharap pada orang-orang itu. Tak mudah percaya dengan janji orang-orang itu. Seharusnya aku bisa mengambil hikmah dari semuanya.
Seharusnya ku tepati janjiku dulu untuk tidak lagi percaya pada manusia.
Tapi dengan sedikit kata manis penuh harapan untuk masa depan, aku luluh, mudah sekali percaya dan meng-iya-kan kata-kata mereka.
Seharusnya aku mendengarkan kata seseorang untuk tidak terlalu baik dalam mempercayai orang lain.
Seharusnya aku bisa melakukan apapun sendiri.
Seharusnya aku tidak perlu terikat dengan orang lain.
Seharusnya aku sadar, ketika aku memprioritaskan seseorang, maka seseorang tersebut belum tentu memprioritaskan diriku, bisa jadi dia memprioritaskan orang lain.
Kecewa? Lagi? Huh! Aku benar-benar lelah!
Ku kira, kau akan berusaha selalu ada untukku seperti aku selalu berusaha ada untukmu!
Dulu masa-masa skripsi mu belum kelar, kau selalu memintaku menemanimu. Lalu aku datang, meskipun terlambat aku akan datang, tapi jarang sekali aku terlambat, aku selalu berusaha ada ketika temanku yabg memintaku. Begitu pikirku!
Lalu kau pun berjanji, jika nanti aku belum selesai, kau akan menemaniku juga apapun yang terjadi. 
Tapi pada kenyataannya, saat ku butuh, kau tak ada. Mirisnya lagi, kau bahkan tak datang!
Masa-masa penelitian tiba, di hari pertama aku memintamu menemaniku menjadi dokumentator. Kau mau, Alhamdulillah.
Di hari kedua, dengan santai kau kirim pesan, "ren maaf ya aku ngantuk berat". Apa boleh buat? Aku tak bisa memaksa orang untuk ku minta tolong. Lalu kau merasa bersalah, berjanji kalau nanti akan menemaniku di hari lain.
Hari penelitian terakhir tiba, sehari sebelum penelitian aku menagih janjimu, kau meng-iya-kan meski kau sempat bilang "ren kalau ada yang lain sama yang lain aja perginya", aku ga mau dong capek-capek harus cari orang lain sedangkan aku punya teman! Lagian dia juga sudah berjanji kan? 
Keesokannya, lagi-lagi kau tak datang teman, aku sudah menghubungimu tapi suuliit sekali, kau tak ada kabar sama sekali.
Aku terpaksa menghubungi orang lain, mendadak! Karena perbuatanmu!
Apa aku marah? Kecewa? Aku mencoba tidak!
Tapi lihat apa yg terjadi setelahnya. Aku tak mendoakan mu yang buruk-buruk, tapi kejadian buruk datamg padamu karena kau telah mendzalami dan ingkar janji pada temanmu!
Kini, kau tak lagi punya banyak kesibukan hanya menghitung hari menuju wisuda. Aku lagi-lagi memintamu menemaniku revisi, aku juga mau sarjana sepertimu. Berulang kali tak bisa, rupanya kau masih punya banyak kesibukan dengan temanmu yg lain. Yasudah, apa boleh buat, ku lakukan semua sendiri, ternyata aku bisa sendiri, meskipun rasanya berbeda jika mengerjakan hal-hal berat dengan teman. 
Tapi aku ingin bertanya, apakah janji selalu ada saat aku butuh hanya sebatas ucapan saja bagimu? 
Apa hanya aku yang menganggap itu sebagai janji? 
Apa hanya aku yg mempercayai kata-kata itu?
Apa hanya aku yg menganggap kamu teman?
Aku tau kamu lelah, aku tau kamu sibuk, aku tau aku bukan satu-satunya temanmu. Tapi tolong jangan terlalu sering ingkar janji, terutama pada teman2mu yg lain.
Mungkin kamu belum merasakan dikhianati oleh janji, jadi kamu merasa itu hal biasa.
Tapi bagiku, jika seseorang sudah berjanji, maka dia harus menepati janjinya, karena aku selalu berusaha menepati janji-janjiku.
Maka seharusnya, aku tak lagi percaya pada janji, percaya pada janji manusia, dan aku tak mau lagi membuat janji.

Maaf, tak ada lagi celah untukmu [sebuah ungkapan kecewa terdalam]



Katanya, memaafkan itu berarti memberi ruang untuk rasa benci.
Tapi maaf, aku tak akan lagi memberikan ruang, jangankan ruang, sedikit celah pun tak kan ku biar terbuka.
Untuk apa? Itu percuma! Endingnya udah ketahuan.
Ketika aku mulai memberi sedikit celah, kamu dengan mudah membuat celah itu semakin besar, hingga menciptakan ruang yang besar, menganga, sulit untuk ditutup lagi, kecuali dengan rasa kecewaku pada mu.
Kamu mudah mengusik kehidupan orang, kamu mudah menghakimi orang, kamu mudah membuat orang percaya bahwa kamulah korbannya, dan akulah yang selalu jahat. Kamu memang hebat!
Kamu menganggap dirimu sempurna dengan segala pemikiranmu. Menganggap remeh orang yang berbeda denganmu. Membuat orang lain selalu ingin minta maaf padamu.
Tapi pernahkah kamu merasa bersalah sedikit saja?
Berniat untuk meminta maaf atas segala kesalahpamahan yang kamu ciptakan sendiri?
Meminta maaf karena selalu menyebut orang lain jahat?
Meminta maaf karena selalu menghakimi orang lain dengan pikiran dan lisanmu yang aduhai.
Bukan, bukan itu maksudku.
Minta maaflah untuk dirimu sendiri yang selalu merasa diri benar, berhentilah mengoreksi setiap detail perbedaan orang lain dengan dirimu.
Berhentilah membuat orang lain terlihat buruk.
Berhentilah!
Sungguh aku muak. Bahkan aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi memberi sedikit celahpun untuk orang sepertimu berada dalam kehidupanku. Mencoba mencuri peranku untuk diriku sendiri.
Berhentilah menjadi orang yang sempurna!
Kesempurnaan itu bukanlah milikmu, tapi milik penciptamu!
Maaf, tak ada lagi celah untukmu!